Menggenggam Waktu

Kehidupan yang kita rasakan sekarang ini, bukanlah kehidupan yang akan berlangsung selamanya. Hidup kita saat ini adalah guna mencari bekal untuk kehidupan yang sebenarnya di akhirat nanti. Marilah kita renungkan sejenak, dari waktu yang sudah kita lalui saat ini; sudahkah kita gunakan sebaik-baiknya untuk beramal demi akhirat nanti? Ataukah hanya kita sia-siakan untuk kesenangan dunia belaka? Oleh karena itu, sudah selayaknya kita genggam erat waktu yang kita miliki untuk memupuk amal-amal itu.

Menggenggam Waktu - duwisusilo

Untuk Berpegang Teguh pada Al Qur’an

Dari waktu-waktu yang telah berlalu, sudah banyak yang berubah. Di masa kini, sangat terasa asing orang yang berusaha memegang teguh kebenaran dengan berpegang teguh pada Quran dan Sunnah, hari di mana berjilbab besar, celana ngatung, jenggot tebal, dinilai ciri teroris. Bahkan dalam sebuah tayangan televisi disebutkan ketika menangkap apa yang mereka sebut teroris, Al Quran dimasukkan ke dalam barang bukti. Bisa jadi ini adalah dikarenakan kita sendiri juga merasa asing dengan Al Quran. Al Quran hanya dijadikan pajangan rumah kita. Al Quran dibiarkan berdebu di pojok rak buku kita. Padahal Quran merupakan pokok dari syari’at Islam.

Firman Allah Ta’ala:

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hadid [57] : 16)

Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang jauh dari berpegang teguh pada Al Quran, pada kebenaran. Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang berpaling dari Al Quran.

Firman Allah Ta’ala:

“Sesiapa berpaling dari pada Al qur’an Maka Sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat, mereka kekal di dalam Keadaan itu. dan Amat buruklah dosa itu sebagai beban bagi mereka di hari kiamat…” (QS. Thaha [20] : 100-101)

Untuk Kembali pada Allah; Taubat

Di waktu kita kecil, saat tersandung batu, menangis, atau saat bersedih, tempat mengadu kembali adalah pada orang tua kita. Dan kini, saat kita terjatuh pada kesalahan dan dosa, hanya kepada Allah-lah tempat kita kembali. Jangan sampai, niat kembali kepada Allah terlambat ketika sudah di akhirat kelak. Sebagaimana ungkapan penyesalan yang telah Allah abadikan di dalam Al Quran:

 

“dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka, Maka berkatalah orang-orang yang zalim: “Ya Tuhan Kami, beri tangguhlah Kami (kembalikanlah Kami ke dunia) walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya Kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul…” (QS. Ibrahim [14] : 44 )

“Maka Sekiranya kita dapat kembali sekali lagi (ke dunia) niscaya Kami menjadi orang-orang yang beriman”. (QS. Asy Syu’araa’ [26] : 102)

Waktu menyesal di dunia adalah jauh lebih baik dibanding penyesalan di akhirat kelak. Jika menyesal saat di dunia, berarti kita masih ada waktu untuk memperbaiki diri. Sedang jika penyesalan di akhirat kelak, berarti sudah tiada guna penyesalan itu.

Selama masih bernafas, berarti Allah masih memberikan kesempatan bertaubat kepada kita, tak peduli seberapa besar dan setinggi apa dosa kita. Dan berputus asa bukanlah sebuah jalan ataupun jawaban atas dosa-dosa dan kesalahan kita.

Bahkan Allah menyapa dengan mesra agar para pendosa tidak berputus asa:

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa[1314] semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Az Zumar [39]: 53 )

Sungguh, sebuah taubat adalah pembawa kemuliaan bagi para pentaubatnya. Seperti Ma’iz, ia pernah bertaubat dan kemudian jujur mengaku atas dosanya kepada Rasulullah dan ingin bertaubat. Ia mengaku perzinaannya, meminta rajam untuk dirinya, sampai Rasulullah mengatakan, “Jika taubatnya dibagi untuk seluruh pendudk Madinah, niscaya mencukupi bagi mereka.”

Untuk Meneladani Nabi saw

Nabi Muhammad diturunkan Allah bagi semesta alam. Bahkan dari kelahiran beliau pun, sudah membawa rahmat bagi keluarga Halimah Sa’diyah, ibu susunya.

Firman Allah Ta’ala:

“dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya’ [21] : 107)

Berkata Ibnu Abbas, “Adalah Muhammad saw rahmat bagi setiap manusia, maka sesiapa beriman dan membenarkannya akan bahagia.” Al Qurthuby menambahkan, “Bahkan yang tak beriman tetap selamat dari pembenaman dan penenggelaman yang terjadi pada orang-orang kafir terdahulu, umat para nabi sebelum beliau.” Dan sampai kini, kita tak akan pernah mendengar bahwa kaum yang tak beriman pada Sang Nabi saw dibenamkan atau ditenggelamkan di dalam lautan atas do’a Nabi saw. Bahkan ketika ia didustai dan dilempari batu saat di Tha’if, Rasulullah menolak tawaran malaikat Jibril untuk menimpakan gunung kepada kaum pendusta saat itu.

Di sisa waktu yang kita miliki; mengenal sosok yang seiman, pribadi yang seislam, dan sahabat yang seihsan adalah nikmat yang menetap di hati, bertumbuh di jiwa, serta berbuah semanis-semanisnya. Maka betapa memuncak kesyahduan itu, jika yang kita akrabi adalah sosok paling sempurna dari semua pribadi.

“Aku rindu pada ikhwan-ikhwanku,” demikian ujarnya pada suatu hari. “Kami ada di sini duhai kekasih hati,” sahut para rekannya yang selalu setia di sisi. “Tetapi kalian adalah sahabat-sahabatku,” ujarnya sembari tersenyum, para pendengarnya pun tersentak namun kagum. “Lalu siapakah ikhwan-ikhwanmu,” tanya mereka dengan nada cemburu. “Ikhwan-ikhwanku adalah mereka yang belum pernah melihatku, tak berjumpa denganku. Tetapi mereka mengimani apa yang kusabda, apa yang aku bawa.”

Itulah Rasulullah saw, yang menyebut-nyebut kita hingga di nafas terakhirnya; “Ummati…. Ummati…”

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab [33] : 21)

Sungguh, pada sosok, ucapan, sikap dan tindakannya, Allah bentangkan teladan bagi siapapun yang hendak mengambil jalan kemuliaan. Ayat yang turun saat genting-genting ini, ketika pasukan Ahzab mengepung Madinah dengan pongah, memberikan pengarahan kepada para sahabatnya yang terguncang, gelisah, gusar dan bimbang. Mereka telah diberi karunia agung; sewujud manusia yang menunjukkan kesabaran, ketabahan, perjuangan dan pengorbanan, dan kepahlawanan di masa tersulit. Dan memang, saat-saat prihatin adalah penyingkapan hakikat sesosok pribadi di waktu-waktu yang Allah berkahi.

Itulah Nabi yang bercahaya, dan kita berlomba-lomba tuk jadi cermin pemantulnya. Berlomba-lomba meneladani, mencintai, dan mengikuti Nabi saw, di sisa-sisa waktu yang masih kita genggam saat ini.

Dan di sinilah kita, di sisa waktu yang ada, kita harus memanfaatkannya sebaik-baiknya. Menggenggam waktu yang sebentar guna waktu yang kekal di akhirat kelak.

Sumber:

Lapis-Lapis Keberkahan, Saksikan bahwa aku Seorang Muslim, Salim A. Fillah

Madrasah Jiwa Prindu Surga, Mas Udik Abdullah

Dan sumber-sumber lainnya.

Leave a comment